Terkadang, musik bukan hanya sekadar alunan melodi; ia adalah ruang untuk mengenali diri, berbicara tentang pergulatan batin, atau bahkan merangkum perasaan yang sulit diungkapkan dalam kata-kata. Nadin Amizah, seorang solois muda Indonesia, telah mencuri perhatian dengan lagu-lagu yang mengalir laksana puisi, terutama lagu Beranjak Dewasa dari album Selamat Ulang Tahun. Rilisnya pada tahun 2020 bersamaan dengan ulang tahun Nadin yang ke-20, lagu ini bagaikan fragmen perasaan yang menelusuri langkah-langkah menuju kedewasaan—suatu perjalanan penuh keindahan dan kegetiran yang saling berkelindan.
Di tengah alunan musik lembut, lirik Beranjak Dewasa seolah mengajak kita untuk menyusuri lorong-lorong batin yang tak terlihat, namun begitu nyata terasa. Dalam satu baris, ia menyentuh perasaan penuh kebingungan, dan di baris lain, ia menceritakan perjalanan hidup yang melampaui ekspektasi dan terkadang bergerak terlalu cepat. Mengutip Nadin, lagu ini adalah refleksi dirinya, “seperti sebuah percakapan dengan diri sendiri saat kita mulai merasa semua begitu terburu.”
Mengupas Lirik: Mengalir seperti Sungai Waktu yang Tak Pernah Kembali
Pada awal lagu, Nadin menyampaikan sebuah kutipan yang begitu menyentuh hati:
“Pada akhirnya ini semua hanyalah permulaan. Pada akhirnya kami semua hanyalah permulaan.”
Seolah mengisyaratkan bahwa kehidupan ini penuh permulaan tanpa akhir, setiap momen, setiap tawa, dan setiap air mata hanyalah bagian kecil dari perjalanan yang lebih panjang. Di sini, kedewasaan dilihat sebagai proses yang harus dilalui—bukan tujuan yang bisa diselesaikan dalam sekejap. Analogi ini mengingatkan kita pada sungai yang mengalir tanpa pernah kembali ke tempat yang sama, terus bergerak maju meski seberapa kuat kita ingin menahan laju arusnya.
Kehidupan sebagai Sandiwara: “Pemeran Harus Menunduk”
Lirik lainnya yang membuat hati tersentak adalah,
"Pada akhirnya, tirai tertutup, pemeran harus menunduk."
Ungkapan ini bagai refleksi dari pepatah lama yang mengatakan bahwa “hidup adalah panggung sandiwara.” Dalam setiap babak, kita mungkin berperan sebagai pahlawan, kadang sebagai pecundang, tetapi di balik itu semua, ada titik di mana setiap kita harus menunduk, mengakui ketidakmampuan untuk mengendalikan segalanya. Seiring kita beranjak dewasa, kita diajak untuk mengenal diri, menghadapi kerapuhan, dan menerima bahwa hidup ini penuh dengan peran yang berubah-ubah. Di akhir semua cerita, tirai akan ditutup dan kita, sang pemeran, harus menerima kenyataan tersebut.
Bagai Bintang yang Jatuh: Terlalu Cepat, Terburu Waktu
Lirik yang mungkin paling ikonis dari lagu ini adalah perumpamaan tentang waktu:
“Kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya. Bagai bintang yang jatuh, jauh terburu waktu, mati lebih cepat.”
Dalam satu kalimat, Nadin menyandingkan kedewasaan dengan bintang yang jatuh. Seperti bintang yang melesat di langit malam, meninggalkan jejak cahayanya yang indah namun singkat, kehidupan manusia pun kadang terasa melesat terlalu cepat. Kita terbang tinggi mengejar impian, tetapi di saat yang sama, kita tahu bahwa keindahan ini datang dengan konsekuensi waktu yang cepat berlalu. Setiap jejak cahaya bintang adalah momen yang tak bisa diulang, dan demikian pula setiap langkah menuju kedewasaan.
Tertawa dalam Air Mata: Menggenggam Kebodohan Dunia
Ada kedalaman dalam kata-kata Nadin yang tampaknya sederhana, namun penuh makna:
“Berbaring tersentak tertawa, tertawa dengan air mata, mengingat bodohnya dunia.”
Bagi Nadin, proses beranjak dewasa tak lepas dari ketidakpastian dan ironi hidup yang lucu sekaligus menyakitkan. Dunia yang kita huni, dengan segala aturan dan norma, kadang kala tampak bodoh dan tak masuk akal. Dan dalam refleksi inilah kita bisa tertawa—tertawa karena ketidakpastian hidup, tertawa karena kesadaran bahwa kita semua sedang berusaha memahami hal yang mungkin tak akan pernah kita mengerti sepenuhnya.
Pesan di Balik Lirik: Kedewasaan Adalah Sebuah Perjalanan Tanpa Titik Akhir
Di penghujung lagu, Nadin meninggalkan sebuah pesan mendalam:
“Pada akhirnya ini semua hanyalah permulaan.”
Frasa ini seolah menjadi konklusi sekaligus pembuka bagi perjalanan baru. Kedewasaan, bagi Nadin, bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari petualangan yang terus-menerus menuju pemahaman yang lebih dalam. Lagu ini bagaikan sebuah cermin yang memperlihatkan bayangan diri kita di masa depan, tanpa tahu ke mana arah langkah berikutnya, namun terus berusaha dan berjalan maju.
Kutipan-kutipan waktu dan kehidupan dalam lagu ini menjadikannya lebih dari sekadar rangkaian kata; ia adalah perjalanan batin yang mengajak pendengarnya untuk merenungi makna kedewasaan, menghadapi ketakutan, dan merangkul keindahan hidup yang penuh misteri.
Konklusi: Nadin Amizah dan Seni Menyuarakan Kedewasaan
Beranjak Dewasa bukan sekadar lagu bagi Nadin Amizah. Ini adalah manifesto pribadi tentang pergulatan diri dalam memahami arti hidup, menerima ketidakpastian, dan merangkul keindahan yang datang bersamaan dengan tantangan kedewasaan. Di dunia di mana kita sering terburu oleh ekspektasi dan tekanan, lagu ini menawarkan ruang untuk sejenak bernafas dan merenung, untuk menyadari bahwa dalam tiap langkah menuju kedewasaan, tak ada akhir, melainkan sekumpulan awal yang terus terulang.
Lagu ini adalah bukti bahwa seni dan musik mampu berbicara lebih dari sekadar kata-kata, mampu merangkul pendengarnya dalam pelukan kejujuran yang menyentuh hati. Sebagaimana bintang yang jatuh memberikan kilasan cahayanya yang singkat namun indah, Beranjak Dewasa adalah perjalanan yang mengingatkan kita bahwa hidup bukan tentang mencapai akhir, tetapi tentang menikmati setiap langkah dalam prosesnya.
0 Comments
Silakan tinggalkan komentar yang relevan. Semua komentar akan ditinjau sebelum dipublikasikan.